11:30 PM
0

Bagian II:


Inflasi, Politik dan Kemakmuran: antara Mitos dan Kenyataan
IS

Saya akan memulai bagian ke II melihat kutipan di atas dari dua presiden USA, seorang mentri propaganda Jerman Nazi dan saya sendiri.

Saya pikir pembaca cukup pandai dan saya tidak akan menghina intelektualitas anda dengan menterjemahkan ketiga sitiran di atas. Essensi kutipan di atas akan menjadi jelas dengan tulisan di bawah ini bahwa intrik, pengelabuhan atas penguasaan pencetakan uang dan kebenaran adalah musuh utama negara.

Mitos: Inflasi adalah kenaikan harga-harga.

Yang benar: Inflasi adalah laju pertumbuhan uang yang beredar di dalam ekonomi. Bank sentral/otoritas keuangan mencetak uang sehingga jumlahnya di dalam ekonomi meningkat, akibatnya nilai uang turun dan harga-harga naik.

Jadi inflasi adalah perbuatan manusia yang disengaja berkaitan dengan jumlah uang yang beredar, bukan gejala ekonomi akibat permintaan dan penawaran barang/jasa.

Inflasi = Pajak Tabungan dan Pajak Ekonomi Bawah-TanahPengertian inflasi yang beredar di masyarakat adalah yang mitos bukan yang sebenarnya. Penguasa tidak ingin kebenaran mitos ini terungkap karena kebenaran adalah musuh terbesar dari pemerintah (Goebbels). Bagi pemerintah inflasi mempunyai beberapa fungsi.

1. Pajak atas tabungan
2. Memindahkan kekayaan riil dari penabung ke penghutang
3. Menghancurkan hutang

Pemerintah hidup dari pajak. Tetapi pajak bukanlah hal yang populer. Bayangkan kalau anda dikenai pajak 70%-80% dari harta atau penghasilan anda. Anda pasti marah. Oleh sebab itu perlu diciptakan cara yang lebih halus dan tersembunyi di balik kekuasaan dan hak monopoli pencetakan uang. Misalnya pemerintah mencetak uang sehingga uang yang beredar bertambah 20% per tahun, jika barang dan jasa di dalam ekonomi tidak bertambah berarti nilai uang turun sebesar 20%. Artinya nilai riil tabungan anda turun, nilai riil gaji anda turun, nilai riil hutang anda juga turun.

Dengan mitos inflasi (bahwa inflasi = kenaikan harga-harga) berarti penguasa bisa menyalahkan para pelaku ekonomi terutama pedagang. Tuduhan bisa dilontarkan bahwa karena ulah pedagang menimbun barang menyebabkan harga naik seperti yang dilakukan beberapa waktu ini terhadap produsen minyak sawit dan penyalur beras. Kemudian dibarengi dengan operasi pasar membuat image penguasa naik. Menjelekkan pedagang dan mendongkrak citra diri sendiri. Hal ini mudah dicerna dan didukung rakyat .

Supaya lengkap, inflasi kemudian disamarkan dengan indeks harga bahan pokok. Kalau yang namanya indeks, cara menghitungnya bisa dibuat rumit, menjadi intimidatif kalau melihatnya dan tidak lagi transparan. Ini mengikuti hukum: “kalau kita tidak bisa menyakinkan orang, buatlah dia bingung supaya akhirnya pasrah dan tidak bertanya lagi”. Jadi jangan heran kalau dengar inflasi negatif tetapi harga diesel dan minyak goreng naik di atas 20% seperti yang terjadi bulan lalu. Dan tidak ada wartawan yang menyoal hal ini, karena sudah terintimidasi oleh rumit dan canggihnya perhitungan indeks harga bahan pokok atau indeks inflasi.

Sebagai pajak tabungan, inflasi sangat effektif dalam menjangkau “underground economic” (ekonomi bawah tanah). Kalau pekerja seperti saya ini, tangan pajak bisa menjangkau kami melalui perusahaan. Pajak dipotong langsung oleh perusahaan. Lain halnya dengan tukang bakso, tukang sayur, pengemis, pemulung, tukang ojek dan profesi sejenisnya, mereka tidak kena pajak penghasilan atau pajak penjualan. Jangan dikira mereka ini penghasilannya rendah. Seorang pemulung yang mangkal di depan rumah saya, penghasilannya Rp 100.000 – Rp 200.000 per hari, 365 hari per tahun. Jelas penghasilan mereka sudah melewati batas kena pajak. Sayangnya penarik pajak tidak bisa menjangkau mereka secara langsung. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme untuk memajaki mereka yaitu lewat inflasi. Inflasi yang menggerus nilai riil tabungan mereka bisa disebut pajak terhadap harta pelaku ekonomi bawah tanah.

Contoh riilnya, misalnya seorang tukang becak yang di tahun 1980 mangkal di dekat Senayan. Dia memberi jasa mengantar penumpang sejauh kurang lebih 4 km ke Blok M. Sebagai imbalannya dia diberi uang sebesar Rp 300. Artinya Rp 300 mewakili jasa mengantar sejauh 4 km dengan becak. Uang ini disimpannya di lemari sampai tahun 2007. Pada saat dia sudah tua, dia mau naik becak dengan jarak yang sama. Kalau Rp 300 itu mewakili jasa mengantar sejauh 4 km dengan becak maka kapan saja dia gunakan tanda/alat pembayaran yang syah itu dia akan memperoleh jasa yang sama. Nyatanya tidak demikian. Di tahun 2007 diperlukan Rp 5000 – Rp 8000 untuk jasa yang sama. Artinya nilai riil tabungan si tukang becak ini sudah termakan oleh inflasi (baca: pajak tabungan dan pajak ekonomi bawah tanah) walaupun secara sadar si tukang becak tidak pernah merasa membayar pajak.

Inflasi sebagai pajak, mempunyai spektrum luas. Artinya sasarannya ialah siapa saja yang mempunyai uang yang di-inflasikan, tidak mengenal batas negara atau kewarganegaraan, tetapi siapa saja. Seperti US dollar, yang beredar dan ngendon di bank sentral banyak negara karena dijadikan cadangan devisa serta yang ada di tabungan perorangan, laju pertumbuhan dollar yang beredar sebesar 8%-12% berarti nilai riil simpanan dollar turun dengan laju 8% - 12% per tahun. Kalau tabungan itu memperoleh bunga maka bunga itu bisa meredam sedikit turunnya nilai riil tabungan. Catatan: Sentral Bank USA – the Fed – sejak Maret 2006 tidak lagi melaporkan kepada publik laju pertambahan supply uang dollar M3. Maksud M3 adalah seluruh jenis uang, tunai, simpanan tabungan, dan lain lain. Dengan adanya perang di Irak dan Afganistan, USA memerlukan banyak pemasukkan pajak.

Mendapatkan pemasukkan negara/pemerintah/penguasa melalui inflasi sangatlah mudah. Syaratnya hanya kekuasaan (dan monopoli) pencetakan/penerbitan uang. Sedangkan ongkos mencetak sangat murah. Mencetak uang Rp 100.000 atau Rp 5.000 atau US$100 atau kalau ada nanti Rp 1000.000, memerlukan usaha, tinta, kertas dan peralatan yang sama. Apalagi sekarang ini, uang tidak selalu berbentuk kertas melainkan juga catatan elektronik. Anda digaji melalui transfer elektronik. Belanja dengan kredit card atau debit card juga secara elektronik. Ketika bank memberikan hutang, tinggal mengkreditkan di rekening anda. Praktis penggunaan (uang) kertas sudah berkurang banyak. Catatan elektronik telah menggantikan kertas. Karena uang sekarang ini sebagian hanyalah catatan elektronik maka memciptakannya semakin mudah, hanya dengan pencetan tombol keyboard komputer. Kalau anda berjiwa kriminal, anda akan bertanya, “tentunya memalsukan uang sekarang menjadi semakin mudah dan sulit dilacak bagi hacker hacker ulung”. Mungkin saja. Bagi seorang hacker ulung, kalau bisa masuk ke sistem komputer otoritas keuangan dan mengkreditkan sejumlah uang di rekeningnya. Mudah bagi yang ulung dan tahu sistemnya. Tidak perlu lagi beli tinta dan kertas uang serta sembunyi-sembunyi mencetak dan mengedarkannya.

Liquiditas, Nama Baru InflasiSejarah selalu berulang walaupun tidak sama persis. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa kita bisa belajar dari sejarah. Apakah itu untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Kekuasaan dan monopoli moneter menjadi landasan Kekaisaran Romawi melakukan mengenceran kadar emas yang terkandung di dalam uang dinarius nya dari 90% menjadi hampir 0% selama 250 tahun. Perlahan tetapi pasti. Atau kalau anda mau mencarinya di internet, cerita tentang John Law dan Duke Philippe d'Orléans berserta Banque Royale (Royal Bank) di tahun 1716 sampai 1720. Sampai-sampai orang Prancis alergi terhadap kata bank. Yang kita jumpai sekarang ini adalah Credit Lyonese atau Credit Suisse. Atau kalau anda buka situsnya Bank Indonesia, dan membaca sejarah Bank Indonesia, anda akan tahu bahwa keuangan republik ini didirikan di atas inflasi untuk membiayai perjuangan kemerdekaan dulu. Atau kalau mau baca majalah atau koran luar negri baru-baru ini tentang Zimbabwe, inflasinya 1700%!!!

Di situs Bank Indonesia (BI) bisa dijumpai data jumlah uang M2 yang beredar dari tahun 1990 sampai sekarang. Tahun 1990 jumlah uang M2 yang beredar sekitar Rp 60 triliyun. Kurang dari 17 tahun kemudian (tahun 2007) jumlah itu sudah mencapai hampir Rp 1400 triliyun atau 23 kali lipat (lihat Grafik-1). Dapat dipastikan harga-harga barang sudah naik 23 kali lipat selama 17 tahun ini. Bukannya harga-harga naik, tetapi nilai uang diturunkan. Selama 17 tahun, 86% nilai rupiah sudah dihancurkan. Sekarang nilainya hanya 4% dari nilai riil di tahun 1990. Jadi jika anda 27 tahun lalu pensiun, dapat pesangon pensiun dan hidup dari bunga deposito uang tersebut, maka pada saat ini nilai riil uang anda di bank hanya tersisa 4% saja. Sekarang anda akan mengalami kesulitan hidup. Dan yang lebih merisaukan lagi ialah bahwa sejak tahun 2005 laju kenaikan uang yang beredar mengalami percepatan. Inflasi meningkat. Berarti penurunan nilai riil uang anda semakin dipercepat.
Grafik 1 Uang M2 yang beredar (sumber: Bank Indonesia)

Kalau kita mundur lagi ke belakang pada saat republik ini baru diakui dunia yaitu tahun 1950. Jumlah uang yang beredar hanya Rp 3,9 milyar rupiah ORI (Sumber: BI). Jumlah ini sama dengan Rp 195 ribu nominal uang Orba. (Ingat Rupiah mengalami 3 kali pengguntingan nilai nominalnya). Kalau sekarang Rp 195 ribu adalah penghasilan sehari pemulung di depan rumah saya, tetapi 57 tahun lalu adalah semua uang yang beredar di republik ini. Selama 57 tahun nilai riil rupiah sudah dihancurkan dan hanya tersisa 0.0000000142% saja (oooalah banyak benar nolnya!!). Praktis NOL.

Nama baru inflasi saat ini ialah liquiditas. Kalau liquiditas naik artinya, inflasi meningkat. Dipersepsikan bahwa liquiditas adalah obat untuk segala persoalan ekonomi. Pembangunan ekonomi, untuk menggerakkan ekonomi, mencegah dan mengobati krisis ekonomi diperlukan liquiditas yang cukup. Sejak krisis moneter Asia 1997, krisis LTCM (Long Term Capital Management), krismon Russia, sampai krisis bursa Teknologi US, liquiditas membanjir. Selama dua tahun terakhir ini terjadi percepatan laju kenaikkan rupiah yang beredar yang cukup mencemaskan, antara 14% -20%. Soal cetak mencetak uang,bukan monopoli Indonesia saja, tetapi juga negara lain. Tahun lalu Uni Eropa 8.5%, US 10%, Cina 19%, India (18%), Afrika Selatan 23% dan Russia 45%.

Di bawah ini adalah grafik US$ M3 yang beredar dari tahun 1980 sampai Maret 2006 (sumber: nowandfutures.com). Sumber datanya dari the Fed (bank sentral US). Karena sejak Maret 2006 tidak lagi melaporkan uang M3 yang beredar maka kedepannya berupa perkiraan yang diturunkan dari data lainnya.

Grafik 2 Pertumbuhan Uang M3 US$ dalam milyar US$
(Sumber: nowandfutures.com)

Selama kurang dari 27 tahun, jumlah US dollar yang beredar naik menjadi 6 kali lipat. Jangan heran kalau kemudian harga-harga bahan dasar naik. Maksudnya, nilai uang turun. Minyak naik dari titik terendahnya $10 per barrel di tahun 1999 sekarang berkisar di level $ 60. Jagung, beras, emas, perak dan komoditas lainnya naik. Lihat trend di grafik berikut ini dan jangan hiraukan unit nya. ( 1 U.S. bushel = 35.24 liter dan 1 oz = 31.1 gram).












Kita bisa teruskan ke bahan-bahan lain. Trendnya sama, yaitu naik (secara nominal). Dalam keadaan seperti ini, pemilik tabungan dirugikan dan para penghutang akan diuntungkan. Nilai riil hutang atau tabungan digerus inflasi.
Catatan Akhir dan Renungan
Pemerintah/Penguasa bukan badan yang berorientasi keuntungan dan bukan pula yayasan sosial yang menciptakan kemakmuran. Pemerintah/penguasa menarik pajak, retribusi, membuat inflasi, mengeluarkan surat hutang. Katanya pajak itu akan kembali ke rakyat. Retorik itu salah. Prioritas utamanya ialah untuk mereka sendiri, membayar gaji. Kalau ada sisa baru disisihkan untuk memelihara dan membangun infra struktur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Pada tahun-tahun terjadinya krisis di negri ini, seperti 1946 – 1950, 1964 – 1968, 1997 – 2000, perawatan infra struktur hampir tidak ada. Tetapi gaji politikus dan birokrat tetap berjalan, juga aktifitas politiknya.

Saat ini pemerintah giat melakukan operasi pasar untuk minyak goreng. Kalau tujuannya untuk menurunkan harga, adalah usaha yang sia-sia. Saya melihatnya hanya sebagai aktifitas politik yaitu mencari popularitas. Seperti saya katakan: “Ada penipu kecil, penipu ulung, politikus dan Cut Zahara Fonna”. Operasi pasar, memaksa pedagang untuk menjual barangnya di harga yang ditetapkan penguasa atau sejenisnya, sepanjang sejarah tidak bisa membuat kemakmuran meningkat, karena tidak ada pertambahan barang dan jasa di pasar. Kalau tindakan itu dimaksudkan untuk mencari popularitas, pemerintah reformasi ini masih kalah dengan Robert Mugabe. Robert Mugabe dari Zimbabwe, beberapa tahun lalu menyita tanah dari para tuan tanah kulit putih kemudian membagikannya kepada “petani” miskin kulit hitam. Jangan dikira Zimbabwe jadi makmur karena banyak tanah sudah berpindah tangan kepada petani. Produksi pangan menurun karena hengkangnya tuan tanah yang punya keahlian mengelola sistem pertanian. Inflasi harga (kenaikan harga barang) di Zimbabwe mencapai 1700% per tahun tidak hanya dipicu oleh pencetakan uang tetapi juga susutnya jumlah barang di pasar.

Tuan tanah, tengkulak, pengijon, penimbun, spekulator sering dijadikan kambing hitam oleh penguasa. Sebenarnya mereka merupakan bagian yang penting dalam ekonomi pasar. Kalau mereka dihilangkan, ekonomi menjadi terganggu. Nabi Jusuf adalah seorang penimbun dan spekulator. Dia menimbun dan berspekulasi bahan pangan hanya berdasarkan mimpi Firaun. Bulog juga penimbun. Perbedaan antara Bulog dan penimbun/spekulator swasta ialah bahwa pelaku Bulog tidak mempunyai rasa memiliki sehingga rawan korupsi.

Profesi sebagai politikus sangat menggiurkan. Bisa bermain-main dengan kekuasaan dan imbalannya cukup besar. Jaman Reformasi ini seakan sempatan berpolitik dan berpartisipasi di sektor kekuasaan semakin terbuka lebar. Jangan heran kalau dari mulai kiai, pengangguran, guru, artis, beralih ke profesi ini. Kecenderungannya nampak semakin banyak “elite” politik, organisasi kedaerahan, dewan adat, laskar kedaerahan yang orientasinya kekuasaan dan hak atas pajak/restibusi atau sejenisnya yang disebut penghasilan daerah. Harus diingat bahwa aktifitas semacam itu tidak menambah barang atau kemakmuran, bahkan menurunkan kalau semakin banyak orang lari dari sektor-sektor produktif (pertanian, manufakturing, dsb) ke aktifitas politik yang non produktif.

Yang diceritakan di atas adalah institusi yang resmi. Ini tidak termasuk pak Ogah, unit-unit “keamanan”, tukang parkir liar, tukang palak, organisasi kedaerahan dan sejenisnya yang tidak resmi dan ikut menariki iuran. Mereka ini memang tidak ikut dalam komponen pemicu inflasi moneter tetapi punya andil dalam inflasi harga. Iuran-iuran liar ini akan dimasukkan oleh para pedagang dalam komponen biaya dan harga jual barang menjadi lebih tinggi. Jangan heran kalau biaya hidup di Jakarta 30% lebih mahal dari di Kuala Lumpur, karena adanya perbedaan komponen ini.

Kalau trendnya seperti ini, apakah kita masih bisa optimis untuk menjadi makmur?
(Seandainya anda belum membaca bagian I tulisan ini, sebaiknya anda membacanya untuk kelengkapan informasi)

0 komentar:

Post a Comment