8:23 PM
0



Al-quran sebagai pedoman segala sesuatu, sehingga untuk menghindarkan dari berbadai macam persepsi, asumsi, opni dari setiap manusia. Setiap manusia diberi hak dan kebebasan untuk mengungkapkan segala opininya. Dan memang segala macam tindakan ada pertanggungjawabannya.

Al-quran sebagai pedoman untuk menghindari berbadai macam opini, asumsi, persepsi yang berbagai macam dari setiap manusia. Secara tegas alquran menyatakan dalam


QS. AL-QOMAR (54:53)

وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ

Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.

Seperti yang diungkapkan Alquran dalam surat alqomar diatas, secara gambling segala semua urusan kecil maupun yang besar adalah tertulis, dan dengan bahasa tulis memperkecil kemungkinan untuk menimbulkan berbagai macam persepsi dan opini.
ALquran pula juga menegaskan sebagai sumber kebenaran yang utama, sampai mengulang kebenaran sampai tiga kali, artinya setiap oranf boleh bebas berasumsi, namun sumber kebenaran utama adalah alquran

QS. AL-HAQQOH (69:51)

وَإِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِينِ

Dan sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar kebenaran yang diyakini. (QS. 69:51)



MENGENAI RUH, JIWA DAN NYAWA


#RUH

Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72).1

1.      Bahasa
Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti.
  • Kata روح untuk ruh
  • Kata ريح (rih) yang berarti angin
  • Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.

روحانيون * روحاني
Digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.
Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti. Term-term yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh, bermacam-macam. Diantaranya ruh di sebut sebagai sesuatu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)
Hanya saja, ketika ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih tetap hidup
الروح انه ما به حياة النفس
atau seperti yang dikatakan al-Farra'
الروح هو الذي يعيش به الإنسان
Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
Dalam al-Qâmûs al-Muhîth dan Mukhtâr al-Shahhâh kata “Rûh” berarti “sesuatu yang dengannya ada kehidupan”.  Adanya kehidupan kita bisa menyimpulkan adanya nafas, tumbuh, panas tubuh, denyut jantung
Kesimpulan
Ruh bisa disimpulkan adalah energi tuhan, nafas, panas, denyut, jantung, gerak, tumbuh.
Ruh adalah rahasia Tuhan, yang mengetahui tentang ruh adalah sedikit, ilmu tentang tuh adalah sedikit
Ruh tidak tahu senang, susah, sakit, ruh tidak disiksa atau diberi nikmat di surge, ruh tidak bisa berpikir


#JIWA

Allah mengilhamkan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, serta kesiapan untuk melaksanakan keduanya artinya jiwa adalah kehendak bebas manusia bisa berupa akal, perasaan, senang, sedih, bahagia, susah, sakit, menderita, taat, patuh, menentang, berbuat baik, berbuat jahat, dll sebagaimana firman-Nya dalam surat asy syams ayat 7-8 dan  surat al insaan ayat 3,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Kami ilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan takwa.”
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sungguh telah Kami tunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur”

Menurut al Fairuz Abadi[1] jiwa manusia itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut; jiwa itu memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkannya, menghendaki sesuatu yang disukainya, kecintaannya terhadap sesuatu itu akan dapat menjadikan sesuatu itu keutamaan dalam hidupnya dan jika ia menikmati sesuatu yang disukainya itu lambat laun kesenangannya itu akan menguasai isi hatinya.

Sehingga jiwa manusia ini akan selalu tunduk dan patuh kepada Allah serta menyenangi kebaikan hingga kebaikan itu akan menguasai segenap isi hatinya jika mendapat bimbingan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Begitu pula sebaliknya bila ia dibiarkan tanpa pengendalian maka ia akan mengendalikan manusia mengikuti gejolak jiwa yang rendah yang mengajak kepada kemaksiatan hingga kemaksiatan itu pada puncaknya akan menguasai pula hatinya.

Secara garis besar dari berbagai ayat yang terdapat di al Qur’an dapat disimpulkan bahwa kondisi jiwa manusia terdiri dari tiga jenis, yaitu jiwa yang mengajak berbuat buruk (nafsu ammarah bi suu’), jiwa yang menyesali diri (nafsu lawwamah) dan jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).

Jiwa yang Mengajak Berbuat Keburukan

Al Jurzani[2] memaknai jiwa semacam ini sebagai berikut,
هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية، وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة
Sesuatu yang cenderung kepada pembawaan tubuh, mengajak menikmati kelezatan dan selera inderawi serta menarik hati kearah kenistaan. Itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan mata air segala perilaku tercela.

Allah ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak mampu membebaskan jiwaku (dari kesalahan), sungguh jiwa itu menyuruh berbuat keburukan, kecuali jiwa yang dirahmati Tuhanku, sungguh Tuhanku Mahapengampun dan Mahapengasih.

Jiwa yang mengajak berbuat keburukan ini juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir[3] dalam tafsirnya tentang perkataan istri al Aziiz yang menggoda nabi Yusuf as, “وَلَسْتُ أُبَرِّئُ نَفْسِي، فَإِنَّ النَّفْسَ تَتَحَدَّثُ وَتَتَمَنَّى؛ وَلِهَذَا رَاوَدَتْهُ لِأَنَّهَا أَمَارَةٌ بِالسُّوءِ”, Aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, sebab hawa nafsu diriku selalu membisikkan godaan dan angan-angan kepadaku. Karena itulah aku menggoda Yusuf dikarenakan jiwaku yang mengajak berbuat keburukan.

Jiwa yang memerintahkan perbuatan buruk ini adalah jiwa yang menipu akal dan menghilangkan rasa malu manusia, ia menjadikan sesuatu yang buruk menjadi indah dan baik. Sifat jiwa yang demikian akhirnya menjadi kesempatan bagi Iblis untuk membisikkan kejahatan, menyesatkan, menggelincirkan dan menjerumuskan manusia kepada kemaksiatan.

Ibnul Qayyim al Jauziyyah[4] menjelaskan bisikan setan ini pada jiwa yang lemah sebagai berikut, “وَأما النَّفس الأمارة فَجعل الشَّيْطَان قرينها وصاحبها الَّذِي يَليهَا فَهُوَ يعدها ويمنيها ويقذف فِيهَا الْبَاطِل ويأمرها بالسوء” adapun jiwa yang memerintahkan berbuat keburukan, maka syetan akan menjadi pendamping dan sahabatnya yang memberi janji-janji, angan-angan kosong kemudian menyusupkan kebatilah pada hati manusia serta memerintahkan berbuat keburukan.

Manusia yang tertipu adalah mereka yang berjalan dibelakang kehendak jiwanya (nafsunya) tanpa pengendalian akal dan syari’at serta tidak memperhitungkan dampak perbuatannya.  Menjadikan hawa nafsunya sebagai panglima adalah kesesatan. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Qashash ayat 50,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.”

Jiwa yang mengajak pada keburukan ini harus diperangi dengan sungguh-sungguh agar terbebas dari belenggu keindahan kenikmatan maksiat yang bersifat fana dan menipu. Mengajari dan melatih jiwa untuk memikul beban dan kesulitan seperti merutinkan shalat malam, puasa sunnah, shadaqah dan sebagainya.

Dari ‘Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tiadalah (sempurna) keimanan seorang Mukmin sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”[5]

Jiwa yang Menyesali Diri

Jiwa yang menyesali diri adalah jiwa yang senantiasa mengingatkan pemiliknya dari perbuatan maksiat dan mengajak pemiliknya segera bertaubat ketika bermaksiat. Jiwa semacam ini dapat meningkat hingga mengembalikannya kepada kondisi fitrahnya yang bersih.

Allah ta’ala berfirman dalam surat al qiyamah ayat 2,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri)”

Ibnu Katsir[6] mengungkapkan perkataan al Hasan dalam tafsirnya tentang jiwa orang beriman, “إِنَّ الْمُؤْمِنَ -وَاللَّهِ-مَا نَرَاهُ إِلَّا يَلُومُ نَفْسَهُ: مَا أَرَدْتُ بِكَلِمَتِي؟ مَا أَرَدْتُ بِأَكْلَتِي؟ مَا أَرَدْتُ بِحَدِيثِ نَفْسِي؟ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَمْضِي قُدُما مَا يُعَاتِبُ نَفْسَهُ” Sesungguhnya orang beriman itu, demi Allah  menurut penilaian kami amat sangat menyesali dirinya sendiri dan mencelanya, Apa tujuanku dengan perkataanku, apa tujuanku dengan makananku, apa tujuanku dengan bisikan jiwaku. Sedangkan para perdurhaka itu melaju terus dalam kedurhakaannya tanpa pernah menyesali diri.

Al Qurthubi[7] mengutip perkataan Mujahid dalam tafsirnya tentang jiwa yang menyesali diri, “هِيَ الَّتِي تَلُومُ عَلَى مَا فَاتَ وَتَنْدَمُ، فَتَلُومُ نَفْسَهَا عَلَى الشَّرِّ لِمَ فَعَلَتْهُ، وَعَلَى الْخَيْرِ لِمَ لَا تَسْتَكْثِرُ مِنْهُ” ia adalah jiwa yang mengecam segala sesuatu yang lepas terlewat dan menyesalinya, ia mengecam dirinya atas keburukan yang dilakukannya, ia mengecam dirinya pula ketika berbuat kebaikan dengan perasaan kurang sempurna dan kurang optimal.

Al Jurzani[8] berkata “هي التي تنورت بنور القلب قدر ما تنبهت به عن سنة الغفلة، كلما صدرت عنها سيئة، بحكم جبلتها الظلمانية، أخذت تلوم نفسها وتتوب عنها”Jiwa ini bersinar dengan cahaya hati, yang menyadarkan dari kelalaian. Setiap kali ia mengerjakan keburukan dan terjerumus dalam kegelapan, ia akan menyesali diri dan bertaubat atasnya.

Jiwa yang menyesali diri adalah kondisi jiwa pada level berikutnya, setidaknya inilah kondisi jiwa yang harus dimiliki oleh orang beriman, manakala ia lalai maka jiwanya mengingatkan atas kelalaiannya.

Setiap mukmin wajib mewaspadai ketika jiwanya merasa nyaman akan kemaksiatan, tidak tergerak jiwanya untuk membenci kemungkaran, sementara membenci kemungkaran dengan hati adalah selemah-lemah iman.

Jiwa yang Tenang

Ini adalah tingkatan jiwa yang tertinggi, jiwa yang tenang dengan keta’atan kepada Allah, tenang dengan janji-janji Allah. Merasakan nikmat dalam beribadah kepada Allah. Allah memenuhi segenap jiwanya, Allah selalu ada dalam segala aktivitasnya. Jika Allah memberinya kenikmatan maka ia bersyukur dan bertambah keta’atannya. Jika Allah mengujinya dengan musibah maka ia bersabar dan bertambah kedekatannya kepada Allah, dan ia kembalikan segala urusannya kepada Allah.

Jiwa semacam ini tak mengenal kecewa dalam kebaikan, tak mengenal gentar dalam ujian. Ia memahami betul hakikat kehidupan, dunia itu fana dan sementara, akhiratlah tujuan utama. Jiwa ini tenang karena surga adalah terminal akhir yang akan diraihnnya. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Fajr ayat 27-30,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
 “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”

Al Jurzani[9] menjelaskan bahwa jiwa yang tenang adalah “هي التي تم تنورها بنور القلب حتى انخلعت عن صفاتها الذميمة، وتخلقت بالأخلاق الحميدة” jiwa yang sempurna cahayanya dengan cahaya hati hingga terlepas dari sifat-sifat buruk, dan terbingkai deng akhlaq yang terpuji.

Keberhasilan yang besar dari tazkiyatun nafs adalah jiwa yang tenang, tenang dalam beribadah, tenang dalam perjuangan dan pengorbanannya, tenang karena Allah menjadi poros segala amalnya, hati, ucapan dan tindakan.

Allah ta’ala berfirman dalam surat ar ra’du ayat 28
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.”
Allah juga menegaskan hidayah petunjuk kepada jiwa
"Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dariku (bahwa ada jiwa yang dapat menerima petunjuk, dan ada yang tidak); 'Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama." – (QS.32:13)


Yang masuk ke dalam surga dan neraka adalah jiwa
“Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan”.(QS. 39. Az Zumar:70)

QS. AL-FAJR (89: 27-30)

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي

Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku

Jasad hanya jadi saksi
Allah swt berfirman di dalam QS Yaasiin ayat 65  yaitu  :

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ [٣٦:٦٥]
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. 



Kesimpulan
Jiwa adalah kehendak bebas manusia meliputi akal, pendengaran, penglihatan, berpikir, senang, sudah, berpikir, membuat keputusan, merasa sempit, lapang, gembira, sudah, merasa kaya, merasa miskin, lapang, bahagia, susah, merasa sakit gigi, ke iris pisau, meliputi 5 pancaindera,



#NYAWA

Perbedaan ruh, jiwa dan nyawa menjadi menarik, karena beberapa ulama dan berbagai macam orang menafsirkan pengertian berbagai macam macam.


QS. AZZUMAR (42)

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allah memegang jiwa (nafs) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia, tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS.39.Az-Zumar:42)

Artinya pada saat manusia dinyatakan mati, manusia tersebut badannya sudah dingin, tidak bisa bergerak, tidak ada nafas, dan tidak ada denyut jantung, tidak tumbuh, tidak bergerak ( ini adalah sifat ruh) , dll. Pada saat mati manusia juga tidak bisa berpikir, tidak merasakan susah, senang, sakit gigi (ini adalah sifat jiwa). Kesimpulannya orang tersebut tidak bernyawa, karena nyawanya sudah dicabut oleh malaikat pencabut nyawa
Q.s An-Naziat :
1. Demi Malaikat-Malaikat Yg Mencabut Nyawa Dgn Keras.
2. Dan Malaikat-Malaikat Yg Mencabut Nyawa Dgn Lemah-Lembut


Namun manusia pada saat tidur, badan masih terasa panas, masih bernafas, masih denyut jantung, dan tumbuh, artinya manusia saat tidur masih ada ruhnya.
Juga pada saat manusia tidur, tidak bisa berpikir, sudah tidak bisa lagi merasakan susah, tidak bisa merasa senang, tidak merasakan sakit gigi walau sebelum tidur merasakan sakit gigi. Artinya Allah sedang memegang jiwa orang yang tidur sementara.

*Kesimpulan
Manusia terdiri dari
1.Jasad
2. Ruh
3. Jiwa

Jasad adalah casing sebuah HP, ruh adalah batereai dan Jiwa adalah Operating System

Saat HP dimatiin untuk di ces (charger) hp dimatikan sementara, namun masih ada baterenya, hp tidak bisa digunakan untuk sms, whatsapp, tidak bisa menerima telepon. Namun bisa beroperasi lagi saat hp dinyalakan lagi (ibarat manusia sedang tidur)
Saat hp dicopot baterainya otomatis hp sudah tidak bisa gunakan untuk apa2. (ibarat manusia nyawanya sudah dicabut)

Fokus utama manusia adalah jiwa karena jiwalah yang kekal sampai akhirat merasakan balasan di hari akhir, manusia harus sering memberi makanan kepada jiwa, mengasah jiwa menjadi jiwa yang taqwa



0 komentar:

Post a Comment